MEDIASI KASUS PHK SDRA. AGUSTINUS OLEH CU BANURI HARAPAN KITA

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sanggau telah melakukan mediasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara Sdra. Agustinus dengan pihak manajemen CU. Banuri Harapan kita pada Rabu (14/10/2020). Masing-masing kedua belah pihak telah diminta keterangan mengenai kasus yang terjadi yakni Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap Sdra. Agustinus.

Berdasarkan keterangan dari Kuasa Hukum Sdra. Agustinus (Bapak L. Lifkoi Vantar, SH., M.Hum), bahwa PHK terhadap Sdra. Agustinus batal demi hukum mengingat ketentuan pada 158 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sendiri tidak lagi mengikat. Lagipula, Sdra. Agustinus seharusnya diberi surat peringatan terlebih dahulu ataupun dilakukan demosi dan tidak langsung di-PHK. Untuk itu, pihak CU. Banuri Harapan Kita patut untuk membayar pesangon sebebsar 2 (dua) kali sesuai ketentuan pasa 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 Ayat (3) dan uang penngantian hak sesuai pasal 156 Ayat (4) ditambah upah proses selama 6 (enam) bulan.

Adapun keterangan dari Kuasa Hukum CU. Banuri Harapan Kita (Bapak Fransiskus Saju, SH., M.H. dan Bapak Kartius, SH., M.Si), Sdra. Agustinus telah melakukan penyalahgunaan keuangan seperti penggelapan uang, transfer fiktif dan mengambil uang KSP CU. Banuri Harapan Kita untuk kepentingan pribadi dan menyebabkan kerugian materiil sebesar Rp795.337.290,00. Perbuatan penyalahgunaan keuangan termasuk kategori kesalahan berat sehingga berkonsekuensi PHK.

Setelah mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak, maka Mediator Hubungan Industrial, Iwan Noviar, S.ST., MH menjelaskan hal-hal sebagai berikut. Tindakan fraud (penggelapan) uang termasuk dalam kategori kesalahan berat yang berkonsekuensi PHK sesuai ketentuan pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003. Namun, pasal 158 ini telah dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 12/PUU-I/2003. Hal ini dikarenakan pasal 158 tersebut dinilai telah melanggar prinsip pembuktian terutama asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan kesamaan di depan hukum.

Berdasarkan putusan MK dimaksud di atas, Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi RI telah mengeluarkan Surat Edaran Menakertrans No. SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tertanggal 7 Januari 2005. Surat Edaran Menakertrans ini menegaskan bahwa jika pengusaha hendak melakukan PHK karena kesalahan berat, maka harus ada putusan hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap terlebih dahulu. Jadi, kesalahan berat tersebut harus dibuktikan dengan adanya mekanisme peradilan pidana.

Selanjutnya terdapat Surat Edaran Mahkamah Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Dalam hal terjadi PHK terhadap pekerja karena alasan melakukan kesalahan berat, maka PHK dapat dilakukan tanpa harus menunggu putusan pidana berkekuatan hukum tetap.

Hak pesangon terhadap karyawan yang melakukan kesalahan berat tidak diatur di dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai yuridis formal maupun di dalam Board Policy CU Banuri Harapan Kita. Masalah pesangon ini masih menjadi perdebatan yang ditandai dengan beragam putusan baik pada tingkat Pengadilan Hubungan Industrial maupun Majelis Kasasi Mahkamah Agung. Untuk itu, jika kasus ini dibawa ke Pengadilan Hubungan Industrial, maka pengadilanlah yang akan memutuskan apakah Sdra. Agustinus masih berhak atas pesangon atau tidak.

Sebagai penutup, Iwan selaku Mediator menganjurkan penyelesaian sebagai berikut. Para pihak yang berselisih dalam menyelesaikan permasalahannya dapat bermusyawarah lagi untuk mencapai kata sepakat. Jika saran ini diterima dan disetujui, maka penyelesaiannya dituangkan ke dalam bentuk Persetujuan Bersama (PB) dan ditandatangani masing-masing pihak dan disaksikan oleh Mediator Hubungan Industrial Dinas Nakertrans Sanggau. Namun, jika para pihak tidak mencapai kata sepakat maka perselisihan ini diselesaikan lebih lanjut melalui Pengadilan Hubungan Industrial di Pontianak. Untuk itu, kedua belah pihak dapat memberikan jawaban atas anjuran ini selambat-lambatnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran Mediator.